Thursday, October 16, 2025

KRISIS TA’DÎM DI LAYAR KACA: SAAT MEDIA LUPA CARA MENGHORMATI KIAI

 KRISIS TA’DÎM DI LAYAR KACA: SAAT MEDIA LUPA CARA MENGHORMATI KIAI


Oleh: Fauzan

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN KHAS Jember


Beberapa waktu lalu, gelombang kejut melanda publik Indonesia ketika salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, menayangkan sebuah sketsa parodi yang menggambarkan sosok kiai dengan gaya ringan dan bernada hiburan. Sekilas, mungkin tampak sepele—hanya lelucon malam di sela hiruk-pikuk tayangan prime time. Namun, bagi komunitas pesantren yang telah menjaga kesucian tradisi keilmuan selama berabad-abad, adegan itu bukan sekadar hiburan; ia adalah tusukan halus yang mengenai urat nadi kehormatan, merusak citra kiai sebagai pilar kebijaksanaan, penjaga adab, dan penjuru moral bangsa.

Dalam khazanah pesantren, representasi seperti ini jauh melampaui kesalahan produksi semata. Ia merupakan pelanggaran moral simbolik—sebuah kegagalan memahami kedalaman makna kiai sebagai figur sakral yang menjadi penuntun spiritual masyarakat. Bagi para santri, kiai bukanlah selebritas yang dapat dieksploitasi demi rating atau sensasi. Ia adalah mata air ilmu yang tak pernah kering, peneduh bagi hati yang gersang, dan lentera yang menuntun umat menembus kegelapan zaman. Seperti diuraikan oleh Zaman (2002), kiai adalah jembatan antara yang transenden dan yang temporal—figur yang menghubungkan langit nilai dengan bumi realitas sosial.

Maka, merendahkan sosok kiai berarti merendahkan ilmu itu sendiri, sekaligus menggerus adab yang menjadi gerbangnya. Dalam perspektif Islam, adab bukanlah pelengkap moralitas, melainkan pondasi epistemologis peradaban. Ketika ta’dîm—penghormatan mendalam terhadap guru dan ilmu—terkikis, peradaban kehilangan orientasi tauhidnya. Ia berubah menjadi bising, dangkal, dan mudah tergoda oleh gemerlap semu dunia digital.

Di sinilah tersingkap krisis besar zaman ini: krisis ta’dîm—hilangnya kesadaran untuk menempatkan ilmu, guru, dan nilai-nilai spiritual di atas kepentingan hiburan dan ekonomi atensi. Krisis ini tidak lahir dari satu tayangan belaka, tetapi mencerminkan erosi kultural yang lebih luas, ketika media mengorbankan kedalaman demi viralitas, dan makna suci digantikan oleh komedi cepat saji.

Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengingatkan, tanpa adab, ilmu kehilangan cahayanya. Pengetahuan tanpa kesantunan hanya akan melahirkan kesombongan; sementara hiburan tanpa hikmah berujung pada kehampaan. Inilah titik rawan masyarakat modern: kita pandai berbicara, tetapi lupa menghormati kata; kita banyak menonton, tapi jarang merenung.

Namun, di tengah kegelapan ini, masih ada cahaya. Harapan itu terletak pada dialog kritis antara tradisi pesantren dan dunia media—antara etika adab dan etika informasi. Jika pesantren mampu menghadirkan nilai ta’dîm sebagai etika publik, dan media bersedia belajar menghormati makna, maka akan lahir bentuk komunikasi baru yang lebih manusiawi dan bermartabat.

Representasi kiai di layar seharusnya bukan menjadi bahan olok-olok, tetapi lentera pencerahan yang memandu masyarakat memahami kearifan Islam Nusantara—Islam yang lembut, mendalam, dan menyejukkan. Hanya dengan memulihkan kembali ta’dîm, kita dapat menjaga agar Islam tetap menjadi rahmatan lil ‘alamin: sumber kasih, kebijaksanaan, dan peradaban yang hijau serta bermartabat.


Ta’dîm: Adab yang Menjaga Peradaban

Dalam kitab klasik Ta‘līm al-Muta‘allim, Imam al-Zarnūjī (1994) dengan tegas menulis bahwa ilmu tidak akan pernah bermanfaat tanpa adab—sebuah pesan yang tidak hanya rasional, tetapi juga mengguncang batin. Ia mengingatkan kita bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar tumpukan informasi yang kering, melainkan permata spiritual yang lahir dari pemurnian jiwa dan kerendahan hati. Ilmu, dalam pandangan Islam, bukan milik akal semata; ia adalah cahaya ilahi yang menembus hati, menuntun manusia menuju pengenalan hakikat.

Pandangan ini diperkuat oleh Al-Ghazālī (2005) dalam karya monumentalnya Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, yang menegaskan bahwa menghormati guru sejatinya adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap ilmu, dan pada akhirnya, terhadap Tuhan Yang Maha Pengasih. Dengan kata lain, adab bukan hanya etika sosial, tetapi modus eksistensial dalam berilmu—cara manusia berhadapan dengan Yang Maha Sumber Segalanya.

Tradisi luhur ini masih berdenyut hangat di pesantren-pesantren Nusantara. Santri yang mencium tangan kiai bukan sedang melestarikan feodalisme, tetapi sedang meneguhkan kesadaran ontologis bahwa ilmu adalah manifestasi kesucian ilahi, sesuatu yang tak ternilai dan tak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Dalam setiap cium tangan itu tersimpan makna penyerahan, kerendahan hati, dan cinta kepada ilmu. Pesantren dengan demikian menjadi laboratorium adab dan tauhid, tempat di mana akal tunduk pada nurani, dan pengetahuan disucikan oleh niat yang ikhlas.

Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan budaya media yang serba instan, nilai-nilai adab ini perlahan memudar—seperti embun yang lenyap di bawah terik matahari digital. Dunia kini memuja kecepatan dan sensasi, bukan kedalaman dan perenungan. Media modern, tunduk pada logika industri hiburan—kecepatan yang membingungkan, sensasi yang memabukkan, dan algoritma yang tak mengenal ampun (Bourdieu, 1984)—telah mereduksi makna spiritual menjadi sekadar citra yang rapuh, pixel demi pixel di layar kaca yang dingin.

Akibatnya, ta’dîm—penghormatan mendalam yang menyatukan ilmu, moral, dan spiritualitas—tergeser oleh trending topic yang fana. Di dunia yang serba cepat ini, kedalaman digantikan oleh viralitas, dan penghormatan oleh engagement rate. Fenomena parodi kiai di Trans7 hanyalah puncak gunung es dari krisis yang lebih luas: krisis makna dan adab dalam representasi keagamaan.

Krisis ini bukan sekadar soal citra ulama di televisi, tetapi panggilan mendesak untuk mereformulasi etika media berbasis adab. Kita memerlukan paradigma baru—adab-based media ethics—di mana narasi tentang kiai dan ulama bukan dijadikan bahan eksploitasi, melainkan jembatan bagi pesan rahmatan lil ‘alamin. Dalam kerangka ini, media bukan sekadar penyampai informasi, tetapi perantara pencerahan; bukan hanya arena hiburan, tetapi ruang tafakur publik.

Dengan memulihkan ta’dîm sebagai lentera etika, pesantren dan media dapat bersinergi membangun literasi digital Islam yang beradab: yang melindungi citra kiai dari banalitas, menumbuhkan habitus intelektual berbasis mahabbah wa tsiqah (cinta dan kepercayaan), serta menghadirkan wajah Islam yang lembut namun tegas, spiritual namun rasional.

Dari titik temu inilah, kita dapat menapaki jalan menuju peradaban hijau yang tauhidik—sebuah harmoni antara kemajuan teknologi dan kesucian batin, antara kecepatan informasi dan keheningan makna. Karena sejatinya, sebagaimana pesan para ulama, ilmu yang tak diiringi adab hanyalah cahaya tanpa arah; dan peradaban yang kehilangan ta’dîm hanyalah modernitas tanpa jiwa.


Ketika Media Kehilangan Adab

Kita hidup di era hyperreality yang memabukkan—sebuah dunia di mana citra palsu sering kali lebih dipercaya daripada kenyataan yang telanjang (Baudrillard, 1994). Di sini, layar-layar digital menjelma menjadi tuan baru atas realitas; mereka membentuk persepsi, mengatur emosi, bahkan mendikte nilai. Dalam ruang virtual yang tak bertepi ini, bayang-bayang lebih berkuasa daripada substansi, dan simulasi menggantikan makna.

Tragisnya, bahkan simbol-simbol keagamaan yang paling suci pun kini dapat dipermainkan seenaknya atas nama kreativitas dan kebebasan berekspresi. Tayangan parodi kiai di Trans7 adalah cermin paling gamblang dari gejala itu. Mungkin tanpa niat jahat, stasiun televisi tersebut menampilkan sosok kiai dalam kemasan humor yang ringan. Namun, bagi masyarakat pesantren, parodi itu bukan sekadar candaan. Ia adalah tusukan simbolik terhadap nilai-nilai suci ta’dîm—penghormatan spiritual yang menjadi ruh dari hubungan antara santri, ilmu, dan guru. Di balik tawa pemirsa, ada luka moral yang sunyi: tanda bahwa media kita sedang mengalami defisit etika komunikasi yang akut, di mana kebebasan berekspresi telah kehilangan jangkar tanggung jawab.

Jauh sebelum era digital ini, M. Dawam Rahardjo (1985) sudah memperingatkan tentang bahaya desakralisasi ruang publik—proses di mana nilai-nilai spiritual, yang dahulu menjadi napas kehidupan sosial, dipisahkan secara brutal dari ranah publik. Akibatnya, ruang publik menjadi steril dari makna, kehilangan dimensi moral dan spiritualnya. Fenomena media hari ini menunjukkan betapa relevan peringatan itu: simbol-simbol agama direduksi menjadi dekorasi visual; yang semestinya menjadi lentera peradaban, kini terjebak dalam panggung hiburan yang dangkal.

Di pesantren, ta’dîm selama berabad-abad menjadi poros moral yang menyatukan ilmu, adab, dan spiritualitas dalam satu kesatuan tauhidik. Ia bukan sekadar sopan santun, tetapi kesadaran eksistensial bahwa ilmu adalah cahaya Ilahi dan guru adalah penjaga jalan menuju-Nya (Al-Zarnūjī, 1994; Al-Ghazālī, 2005). Namun kini, nilai itu tergeser oleh logika viralitas yang dingin dan kejam—logika yang menilai makna berdasarkan clicks dan engagement rate, bukan hikmah dan kebijaksanaan.

Akibatnya, publik perlahan kehilangan rasa hormat yang mendalam, seperti sungai yang mengering di bawah terik matahari modernitas. Tanpa ta’dîm, ilmu kehilangan cahaya, guru kehilangan wibawa, dan masyarakat kehilangan arah moral. Pesantren—yang dahulu berdiri sebagai laboratorium adab dan tauhid—terpinggirkan oleh hiruk-pikuk industri hiburan yang menormalisasi kelucuan atas yang sakral.

Namun, di tengah kegelapan hyperreality ini, masih ada celah cahaya. Ia datang dari kesadaran baru bahwa dunia digital tak harus menjadi musuh spiritualitas. Melalui hermeneutika etis dan dialog sinergis antara tradisi pesantren dan ekosistem media, kita bisa memulihkan nilai ta’dîm sebagai benteng moral sekaligus fondasi etika komunikasi Islam. Media seharusnya bukan sekadar instrumen hiburan, melainkan ruang edukatif yang memuliakan simbol keagamaan dan mengajarkan tanggung jawab spiritual (Akbar et al., 2025; Ridwan & Tajibu, 2025).

Dengan rekonstruksi ini, kita dapat membangun literasi digital Islam yang beradab—sebuah kesadaran baru yang melindungi citra ulama dari banalitas, menumbuhkan habitus intelektual berbasis mahabbah wa tsiqah (cinta dan kepercayaan), serta menghadirkan wajah Islam yang lembut sekaligus rasional. Inilah jalan menuju restorasi peradaban hijau yang tauhidik: peradaban di mana iman, ilmu, dan amal berpadu dalam kasih kepada seluruh ciptaan, dan di mana Islam kembali berdiri sebagai rahmatan lil ‘alamin—bukan hanya di ruang ibadah, tetapi juga di ruang digital yang tak berbatas.


Adab sebagai Etika Publik Baru

Alih-alih menenggelamkan diri dalam amarah yang sia-sia terhadap media, kita justru perlu melangkah ke arah yang lebih luhur: menawarkan jalan keluar berbasis harapan dan adab. Kritik tanpa solusi hanya melahirkan gema frustasi, sementara rekonstruksi nilai melahirkan peradaban. Karena itu, yang mendesak bukan sekadar mengecam tayangan yang melukai rasa keagamaan umat, melainkan menghidupkan kembali adab sebagai etika publik yang menyinari ruang digital dan sosial kita.

Dalam pandangan Islam moderat yang inklusif, kebebasan berekspresi (ḥurriyyah al-ta‘bīr) adalah anugerah ilahi—sebuah hak kodrati untuk menyuarakan kebenaran dan menegakkan keadilan (Azra, 2019). Namun, kebebasan itu tidak boleh lepas dari akar tanggung jawab moral, atau mas’ūliyyah akhlāqiyyah, agar tidak berubah menjadi pedang bermata dua yang melukai nurani umat. Di sinilah Islam menawarkan keseimbangan yang menakjubkan: antara kebebasan dan adab, antara kreativitas dan tanggung jawab, antara kritik dan kasih sayang.

Dari kesadaran inilah lahir gagasan visioner: etika media berbasis adab—sebuah kerangka nilai yang menjembatani kearifan pesantren dengan dinamika dunia modern. Prinsipnya sederhana namun revolusioner: setiap kata yang diucapkan, setiap gambar yang ditayangkan, dan setiap narasi yang dibangun harus memuliakan martabat manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ, bukan menurunkannya menjadi komoditas sensasi. Media, dalam visi ini, bukan sekadar pabrik informasi yang dingin dan mekanis, melainkan taman kesadaran moral—sebuah ruang di mana ilmu dan adab berkelindan, menumbuhkan habitus intelektual berbasis mahabbah wa tsiqah (cinta dan kepercayaan), dan menjadikan setiap konten sebagai dakwah ekologis yang lembut, bukan propaganda yang bising.

Etika ini sama sekali tidak mengekang kreativitas jurnalis atau konten kreator—mereka justru adalah pahlawan narasi di era hyperreality (Baudrillard, 1994)—tetapi mengajarkan keseimbangan antara freedom of expression yang bebas dan moral responsibility yang bertanggung jawab. Seperti keseimbangan antara angin dan akar pohon: yang satu memberi gerak, yang lain memberi keteguhan. Dalam konteks Islam Nusantara, keseimbangan inilah inti dari Islam sebagai raḥmatan lil ‘ālamīn—agama yang menebar kasih kepada seluruh ciptaan, bukan memenjarakan kebebasan, melainkan mengarahkannya menuju kebajikan (Azra, 2019; Quraish Shihab, 2018).

Dengan prinsip itu, ta’dîm tidak hanya menjadi ritual penghormatan di pesantren, tetapi juga lensa etika baru bagi ruang digital. Ia melindungi citra kiai dari logika viralitas, meneguhkan pesantren sebagai laboratorium literasi digital yang beradab, dan mengubah media menjadi jembatan bagi restorasi spiritual manusia modern. Dalam tatanan ini, iman berfungsi sebagai ekologi hati, ilmu sebagai cahaya kebijaksanaan, dan amal sebagai ekspresi kasih terhadap seluruh ciptaan.

Dengan demikian, kita tidak berhenti pada kritik, tetapi melangkah menuju pembangunan peradaban—dunia di mana adab menjadi lentera tauhidik yang menyatukan kemajuan teknologi dengan kesucian spiritual. Di sinilah Islam menemukan kembali misinya yang agung: menuntun manusia menjadi makhluk yang berbudaya dan berbelas kasih. Dan mungkin, dari rahim pesantren yang teduh dan layar digital yang bising, Indonesia akan memimpin dunia menuju peradaban hijau yang bermartabat dan beradab.


Pesantren dan Media: Dua Dunia yang Bisa Saling Mendidik

Pesantren, sebagai benteng abadi adab dan tauhid, tak perlu menutup diri dari arus deras media; sebaliknya, ia harus melangkah maju dengan keyakinan dan kebijaksanaan, memasuki ruang digital dengan semangat iṣlāḥ—semangat perbaikan moral publik yang menjadi panggilan zaman. Di tengah banjir informasi yang bising, penuh sensasi dan hiperrealitas, pesantren dapat tampil sebagai oase etika yang menyejukkan, taman hijau di padang gersang informasi, di mana ta’dîm menjadi filter suci yang memurnikan narasi, menuntun media agar kembali berfungsi sebagai rahmatan lil ‘ālamīn.

Lahir dari rahim tradisi yang suci, santri digital kini muncul sebagai generasi baru: mereka bukan hanya penghafal kitab kuning, tetapi arsitek literasi digital Islam—menghubungkan Ta‘līm al-Muta‘allim dengan algoritma modern, menjaga kesakralan citra kiai dari banalitas layar, dan menanamkan nilai mahabbah wa tsiqah (cinta dan kepercayaan) di dunia maya yang keras. Dengan kejernihan akal yang tajam seperti pedang ilmu dan ketulusan hati yang lembut seperti embun subuh, mereka mempraktikkan dakwah ekologis—menyemai iman sebagai ekologi batin, ilmu sebagai cahaya kebijaksanaan, dan amal sebagai kasih yang menghidupkan bumi (Nasr, 1996).

Sementara itu, media—sebagai cermin jiwa masyarakat modern—harus belajar kembali pelajaran abadi: bahwa menghormati bukan berarti membatasi, tetapi justru mengangkat karya menuju derajat kemuliaan. Kebebasan berekspresi tanpa adab hanya melahirkan kebisingan, sedangkan kebebasan yang diiringi tanggung jawab moral (mas’ūliyyah akhlāqiyyah) akan menumbuhkan peradaban yang matang. Dalam kerangka etika berbasis adab ini, representasi ulama tak lagi hadir sebagai parodi murahan, tetapi lentera pencerahan yang memuliakan manusia sebagai khalīfah fī al-arḍ, penjaga harmoni dan penebar rahmat di muka bumi.

Bangsa besar seperti Indonesia—dengan kekayaan Islam Nusantara yang menebar keseimbangan dan kasih—tidak diukur dari seberapa lantang ia berbicara di tengah hiruk-pikuk viralitas, melainkan seberapa beradab ia menjaga kata dan makna. Di sanalah ukuran sejati peradaban hijau: ketika pesantren dan media bersinergi, membangun habitus intelektual berbasis mahabbah wa tsiqah, menata dunia digital menjadi ruang dzikrullah, dan menghadirkan harmoni universal yang menyinari bumi dengan rahmat ilahi.


Menemukan Kembali Kesantunan di Era Digital

Krisis ta’dîm di layar kaca—seperti parodi kiai yang mengguncang nurani umat dalam tayangan Trans7—hanyalah gejala permukaan dari penyakit yang jauh lebih dalam: hilangnya kesadaran spiritual dalam komunikasi publik yang semakin hiperreal. Di era ketika citra lebih dipercaya daripada hakikat (Baudrillard, 1994), kita telah terbiasa menertawakan yang suci, memparodikan simbol ilahiah demi tawa sesaat, dan menjadikan yang sakral sekadar bahan viral. Kita lupa, sebagaimana diingatkan dalam tradisi Islam, bahwa setiap kata adalah amanah tauhidik—ia bisa menjadi doa yang menyucikan jiwa atau dosa yang menodai batin.

Inilah zaman ketika lisan dan layar bersekutu dalam menciptakan realitas semu. Hiburan menggeser hikmah, kecepatan mengalahkan kebijaksanaan, dan yang transenden dipaksa tunduk pada logika algoritma. Karena itu, kini saatnya kita bangkit dengan tekad moral yang jernih: membangun kembali kesantunan dalam budaya bicara dan representasi media—bukan sebagai belenggu yang membatasi kebebasan berekspresi, melainkan sebagai sayap yang mengangkat kemanusiaan menuju derajat khalifah di bumi.

Sebagaimana diuraikan oleh Al-Ghazālī dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, adab adalah mahkota ilmu—tanpanya, pengetahuan kehilangan cahaya dan berubah menjadi beban yang menjerat. Dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang menuntun peradaban hijau, sebuah tatanan spiritual di mana iman berfungsi sebagai ekologi hati, ilmu sebagai pancaran kebijaksanaan, dan amal sebagai wujud kasih terhadap seluruh ciptaan.

Dalam kerangka ini, media beradab—yang menegakkan etika ta’dîm dan mas’ūliyyah akhlāqiyyah—akan melahirkan masyarakat yang berilmu dan bermartabat. Pesantren, sebagai oase etika yang tak pernah kering, dapat bersinergi dengan santri digital untuk menjaga kesucian narasi dari logika viralitas yang serba dangkal. Sebaliknya, media yang kehilangan adab hanya akan menciptakan kebisingan tanpa makna—sebuah desakralisasi ruang publik (Rahardjo, 1985) yang mengikis poros moral masyarakat dan menggantikan rahmatan lil ‘ālamīn dengan hiburan yang hampa makna.

Karena itu, jalan iṣlāḥ—perbaikan diri dan masyarakat—adalah keniscayaan moral zaman ini. Melalui literasi digital Islam yang beradab, kita dapat melindungi citra kiai dari banalitas budaya, memulihkan habitus intelektual berbasis mahabbah wa tsiqah (cinta dan kepercayaan), dan menuntun Indonesia menjadi teladan peradaban hijau yang tauhidik, berilmu, dan penuh rahmat—sebuah bangsa yang berbicara dengan hikmah, menulis dengan kasih, dan menayangkan kebenaran dengan santun.


Referensi

Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Jakarta: Prenadamedia Group.

Al-Ghazālī. (2005). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Zarnūjī, B. I. (1994). Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq al-Ta‘allum. Beirut: Dār al-Fikr.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press.

Rahardjo, M. D. (1985). Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.

Tirto.id. (2024, April 7). Kontroversi Tayangan Trans7 dan Reaksi Kalangan Pesantren. Retrieved from https://tirto.id/

Zaman, M. Q. (2002). The Ulama in Contemporary Islam: Custodians of Change. Princeton: Princeton University Press.

Akbar, M., Ridho, A. R., Salam, S. N. A., & Al Amin, H. (2025). Communication Ethics on Social Media: Re-Examining Through Tafsir Al-Misbah. Komunike: Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, 17(1), 101–114.

Al-Ghazālī. (2005). Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Zarnūjī, B. I. (1994). Ta‘līm al-Muta‘allim Ṭarīq al-Ta‘allum. Beirut: Dār al-Fikr.

Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Rahardjo, M. D. (1985). Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.

Ridwan, R., & Tajibu, K. (2025). Peran Etika Media dalam Mencegah Penyebaran Fitnah di Era Digital: Tantangan dan Solusi. LITERA: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 2(1), 137–153

Azra, A. (2019). Islam Nusantara: Islam Indonesia dalam Konteks Keindonesiaan dan Kemodernan. Bandung: Mizan.

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press.

Quraish Shihab, M. (2018). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Jakarta: Lentera Hati.


Selengkapnya -

TA’DÎM SANTRI TERHADAP KIAI: REFLEKSI FILOSOFIS DAN RELEVANSINYA PADA ISU TRANS7

TA’DÎM SANTRI TERHADAP KIAI: REFLEKSI FILOSOFIS DAN RELEVANSINYA PADA ISU TRANS7

Oleh: Dr. H. Fauzan, S.Pd., M.Si

Santri Prof. KH. Shodiq Mahmud, S.H


PENDAHULUAN 

Dalam hembusan angin malam yang membawa aroma tanah basah pesantren, tersimpan denyut kehidupan keislaman Nusantara yang melampaui sekadar ruang belajar formal. Di balik temaram lampu minyak dan lantunan doa yang mengalun lembut, hidup sebuah relasi suci antara santri dan kiai—sebuah jembatan eksistensial yang menghubungkan dunia ilmu dan dunia ruhani, menyatu dalam harmoni spiritual yang mendalam, epistemologi yang abadi, dan warna kultural yang menawan. Konsep ta’dîm—penghormatan tulus dan mutlak santri terhadap kiai sebagai pewaris ilmu suci—tidak hanya menjadi pondasi moral pesantren, melainkan juga penjaga bara keadaban dan kesinambungan pengetahuan yang tak pernah padam, sebagaimana diilustrasikan oleh Nurcholish Madjid dalam visinya tentang Islam progresif dan berperadaban (Madjid, 1997). Dalam hakikat terdalamnya, ta’dîm bukanlah sekadar ritual sopan santun; ia adalah filsafat hidup, jalan spiritual yang menuntun jiwa menuju keselarasan dengan Tuhan. Di dalam diri kiai, santri menemukan cermin tauhid—pantulan cahaya ilahi yang menuntun langkah mereka menapaki jalan ilmu dan kebijaksanaan.

Namun, di tengah badai modernitas yang menderu tanpa jeda—ketika gelombang digitalisasi dan arus media massa menggerus kedalaman makna—nilai luhur ini menghadapi guncangan yang tak terelakkan. Sebuah tayangan di Trans7, yang dengan dalih hiburan justru menistakan simbol kiai dan kehidupan pesantren yang sakral, menjadi ironi tragis di hadapan publik. Ia mencerminkan bagaimana media sering tersandung dalam membaca “bahasa adab” yang halus, penuh nuansa, dan sarat makna spiritual dunia pesantren (Tirto.id, 2024). Insiden ini bukan sekadar kekeliruan produksi atau miskomunikasi budaya; ia merupakan alarm filosofis—seruan keras bahwa nilai-nilai luhur sedang terkikis oleh representasi instan yang menukar kedalaman dengan sensasi, dan kesucian dengan tontonan dangkal.

Fenomena ini mengantar kita pada refleksi yang lebih dalam dan mendesak: bagaimana filsafat ta’dîm, sebagai etika relasional yang berakar pada ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamīn, dapat dihidupkan kembali di tengah dunia yang hiper-konektif? Bagaimana tradisi penghormatan yang sarat makna itu dapat bertahan dari gempuran visualisasi cepat dan narasi media yang dangkal, tanpa kehilangan kesakralannya? Di sinilah titik pijak transformasi diperlukan—menjadikan ta’dîm bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi visi etis masa depan. Ia dapat diintegrasikan dalam narasi kontemporer, seperti gagasan “pesantren hijau” yang menyatukan spiritualitas dengan etika ekologis, menautkan adab dengan keberlanjutan, dan ilmu dengan kesadaran sosial.

Dengan demikian, ta’dîm tidak hanya bertahan, melainkan berevolusi menjadi kekuatan moral yang menyejukkan dan inspiratif—menjadi pelita yang membimbing generasi baru untuk menghormati yang abadi di tengah yang fana, menegakkan adab di tengah hiruk-pikuk dunia digital, dan menjaga kemuliaan ilmu di tengah derasnya arus informasi yang sering kehilangan arah.


FILOSOFI TA’DÎM: ANTARA OTORITAS ILMU DAN ADAB SPIRITUAL 

Secara etimologis, konsep ta’dîm—penghormatan yang mendalam dan penuh kesadaran—berakar dari kata Arab ‘aẓama, yang bermakna mengagungkan, memuliakan, dan menempatkan sesuatu pada derajat kemuliaan tertinggi. Dalam konteks spiritual Islam, kata ini melambangkan sikap pengakuan terhadap keagungan yang bersumber dari nilai-nilai ilahi; sebuah penghormatan yang tidak sekadar bersifat sosial, tetapi juga teologis. Dalam tradisi Islam klasik, penghormatan ini merupakan fondasi keberkahan ilmu pengetahuan. Imam al-Zarnūjī dalam karya monumentalnya Ta‘lim al-Muta‘allim menegaskan dengan penuh kedalaman, bahwa adab harus mendahului ilmu, sebab ilmu tanpa adab ibarat cahaya tanpa sumber—akan redup dan menyesatkan (Al-Zarnūjī, 1994). Tanpa penghormatan, pengetahuan kehilangan rohnya; ia menjelma menjadi pedang bermata dua yang dapat melukai pemiliknya sendiri.

Dari perspektif filosofis, ta’dîm dapat dipahami sebagai kesadaran epistemik—yakni pengakuan bahwa pengetahuan tidak pernah lahir dari kehampaan, melainkan dari rantai otoritas moral dan spiritual yang terpelihara lintas generasi. Dalam sistem pendidikan pesantren, kiai bukan sekadar pengajar teks suci, melainkan guardian of values—penjaga nilai-nilai abadi yang memastikan bahwa ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupi. Ia berperan sebagai penafsir moral yang menghubungkan wahyu dengan kenyataan sosial yang dinamis dan sering kali kacau (Rahardjo, 1985). Dengan kewibawaannya yang berakar pada keikhlasan, kiai menjelma menjadi mercusuar peradaban yang menuntun santri menapaki jalan ilmu, bukan sekadar untuk mengetahui, tetapi untuk menjadi: insan yang berilmu, beradab, dan beramal.

Dalam kerangka pemikiran ini, sikap hormat santri terhadap kiai tidak dapat dipahami sebagai bentuk kultus atau ketundukan buta. Ia justru merupakan ekspresi paling murni dari pengakuan terhadap logos keilmuan—prinsip kebenaran universal yang berdiri di atas fondasi adab. Al-Ghazali, sang filsuf dan sufi besar, menggambarkan guru sebagai “perantara antara manusia dan kebenaran Ilahi”, sosok yang menjadikan pengajaran bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga perjalanan penyucian jiwa (Al-Ghazali, 2005). Dalam makna ini, ta’dîm menjadi praksis filosofis yang menyatukan tiga poros utama kehidupan intelektual Islam: akal, ruh, dan akhlak. Ia bukan sekadar ritual penghormatan, melainkan bentuk kesadaran ontologis bahwa ilmu sejati adalah api yang menyala dalam jiwa—membakar kesombongan, menerangi kebodohan, dan mengubah manusia menjadi makhluk yang lebih luhur serta selaras dengan rahmat semesta.

Di tengah era modern yang sering mereduksi pengetahuan menjadi komoditas, ta’dîm hadir sebagai penegasan kembali terhadap dimensi sakral ilmu. Ia mengingatkan kita bahwa menghormati guru bukan hanya menghormati individu, tetapi menghormati warisan keabadian: kesinambungan makna, adab, dan kebijaksanaan yang membentuk peradaban. Dalam penghormatan itulah, ilmu menemukan tempat sucinya—bukan di rak buku atau layar digital, tetapi di dalam hati yang tunduk dan jiwa yang tercerahkan.


PESANTREN DAN STRUKTUR ADAB EPISTEMIK 

Pesantren, sebagai laboratorium adab yang hidup dan bernafas, merupakan ruang suci tempat ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi juga dihidupi. Di sana, pencarian pengetahuan senantiasa berjalan beriringan dengan penempaan karakter dan penyucian spiritualitas—sebuah proses holistik yang menyalakan jiwa agar menjadi lebih tangguh, bening, dan bercahaya (Madjid, 1997). Dalam atmosfer inilah ta’dîm hadir sebagai medium magis, jembatan tak kasat mata yang memastikan ilmu tidak dicari dengan ambisi kosong, tetapi dengan kesadaran moral dan niat yang suci, seolah setiap butir pengetahuan dibersihkan dari debu duniawi sebelum bersemayam di hati pencarinya.

Relasi antara kiai dan santri, meskipun tampak hierarkis, sesungguhnya jauh dari bayang-bayang otoritas yang menindas. Ia tumbuh dari akar mahabbah wa tsiqah—cinta dan kepercayaan yang saling menguatkan—seperti akar beringin yang merangkul tanahnya dengan lembut namun kokoh. Dalam perspektif sosiologis Pierre Bourdieu, ikatan ini membentuk habitus intelektual, yakni sistem disposisi halus yang menghasilkan perilaku teratur dan penuh makna; di mana setiap gerak, kata, dan tatapan santri mencerminkan warisan spiritual yang hidup dalam keseharian mereka (Bourdieu, 1984). Dalam tatanan ini, ta’dîm berfungsi sebagai etika pengikat—suatu poros moral yang menjaga legitimasi ilmu agar tetap suci, dan sekaligus menopang otoritas pesantren sebagai mercusuar kebajikan di tengah gelombang zaman yang bergolak.

Namun, di tengah arus modernisasi yang deras dan sering kali serba instan, makna ta’dîm kerap disalahpahami—direduksi menjadi simbol feodalisme usang yang dianggap menghambat kebebasan berpikir. Padahal, dalam epistemologi pesantren yang kaya dan berlapis, penghormatan ini bukanlah belenggu, melainkan manifestasi dari tanggung jawab epistemik (epistemic responsibility). Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati menuntut disiplin moral dan kesadaran etis, bukan kebebasan liar yang kehilangan arah (Rahardjo, 1985).

Ta’dîm dengan demikian menjadi panggilan halus untuk menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan kebajikan, antara nalar dan nurani—agar ilmu tidak hanya memenuhi pikiran, tetapi juga menyucikan hati. Dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam visi peradaban hijau Islam, nilai ta’dîm dapat menjadi pondasi bagi lahirnya “pesantren hijau”: sebuah model pendidikan yang memadukan penghormatan kepada kiai dengan tanggung jawab ekologis. Di sini, santri tidak hanya diajar untuk bijak secara spiritual, tetapi juga untuk mencintai dan melindungi bumi sebagai wujud nyata dari rahmatan lil ‘ālamīn.

Dengan demikian, ta’dîm bukan hanya warisan tradisi, tetapi juga energi moral yang dapat ditransformasikan menjadi etika ekologis dan sosial baru—menjadikan pesantren bukan sekadar pusat ilmu agama, tetapi pusat kebijaksanaan yang menyalakan peradaban masa depan.


MEDIA DAN KRISIS REPRESENTASI KIAI 

Kasus kontroversial tayangan di Trans7 yang dianggap melecehkan figur kiai menjadi cermin tajam dari benturan dua dunia yang saling bertabrakan: tradisi adab pesantren yang penuh makna spiritual, versus logika industri media yang haus sensasi (Tirto.id, 2024). Di satu sisi, dunia pesantren berdenyut dalam irama simbolik dan spiritual, di mana setiap kata dan gerak sarat dengan penghormatan mendalam terhadap ilmu dan ulama—sebuah ekosistem jiwa yang menjaga keseimbangan antara wahyu dan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, media massa terperangkap dalam pusaran logika visual yang memukau mata, sensasional yang memprovokasi emosi, dan komersial yang mengukur segalanya dengan rating, sering kali mengorbankan kedalaman demi kilauan sesaat.

Melalui teori representasi Stuart Hall, kita melihat bagaimana media bukan sekadar cermin pasif realitas, melainkan pabrik makna yang aktif—memproduksi narasi melalui proses seleksi tajam dan framing yang licik (Hall, 1997). Saat kiai digambarkan secara karikatural atau dangkal, seperti boneka lucu dalam sandiwara murahan, yang hancur bukan hanya citra pribadi semata; yang retak adalah tatanan simbolik keseluruhan—fondasi penghormatan terhadap ilmu dan ulama yang telah menjadi pilar peradaban selama berabad-abad. Ini seperti merobek halaman suci dari kitab kehidupan, meninggalkan luka yang tak terlihat tapi dalam.

Fenomena ini semakin terang benderang jika kita pakai lensa "kekerasan simbolik" Pierre Bourdieu, di mana media muncul sebagai raja baru otoritas simbolik, dengan kuasa untuk mendefinisikan siapa yang pantas dihormati sebagai pahlawan dan siapa yang boleh diejek sebagai bahan tertawaan (Bourdieu, 1984). Dalam pusaran ini, pesantren mengalami subordinasi simbolik yang menyakitkan: nilai-nilai sucinya—yang lahir dari ta’dîm dan mahabbah—direduksi menjadi bayang-bayang pudar oleh budaya visual yang miskin empati, tak peka terhadap adab yang menjadi napas tradisi. Pesantren, laboratorium adab yang Anda gambarkan sebagai penempa karakter dan spiritualitas, kini terpinggirkan, seolah-olah kebijaksanaannya kalah oleh hiruk-pikuk layar kaca.

Inti masalahnya bukanlah kebebasan pers yang mulia, melainkan ketiadaan kebijaksanaan dalam representasi—sebuah kelalaian yang membiarkan media mengabaikan sensitivitas budaya keagamaan yang rapuh (NU Online, 2024). Akibatnya, bukan hanya alienasi spiritual yang lahir di hati umat, tapi juga disharmoni sosial yang merembet, memecah belah masyarakat antara yang menghormati warisan dan yang terbuai sensasi. Dalam visi peradaban hijau Islam yang Anda junjung, kasus ini menjadi peringatan mendesak: media harus belajar dari epistemologi pesantren, di mana representasi tak boleh merusak harmoni alam dan jiwa. Bayangkan jika "dakwah ekologis" dan "pesantren hijau" direpresentasikan dengan framing yang salah—bukan sebagai rahmatan lil ‘alamin, tapi sebagai lelucon belaka. Saatnya media bangkit sebagai penjaga adab, bukan perusaknya, untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kesucian.


REAKTUALISASI TA’DÎM DI ERA DIGITAL 

Relevansi ta’dîm—penghormatan yang mendalam dan abadi—tidak pernah berhenti pada gestur fisik seperti mencium tangan atau menundukkan kepala. Tindakan-tindakan itu hanyalah permukaan dari samudra makna yang jauh lebih luas. Dalam konteks kontemporer yang sarat turbulensi dan banjir informasi, ta’dîm berevolusi menjadi penghormatan yang agung terhadap integritas ilmu dan kemanusiaan itu sendiri: sebuah panggilan suci untuk menjaga kesucian pengetahuan di tengah pusaran disrupsi digital. Ia menuntut tanggung jawab etis yang kokoh di ruang maya yang tak bertepi—tentang bagaimana kita menyebarkan, menafsirkan, dan menilai tokoh agama di arena publik yang kerap menjadi medan perang narasi, di mana satu klik dapat membangun atau meruntuhkan warisan spiritual berabad-abad lamanya.

Santri masa kini, sebagai pewaris api kebijaksanaan pesantren, ditantang untuk memahami ta’dîm bukan semata ritual simbolik, melainkan pilar utama literasi digital Islam—keterampilan yang memadukan iman, ilmu, dan etika siber. Menghormati kiai dalam konteks digital berarti menjaga martabat beliau dari distorsi informasi dan manipulasi opini yang kerap menyamar sebagai kebenaran. Ini adalah bentuk jihad baru: melindungi citra dan pesan para ulama dari virus digital yang perlahan menggerogoti akar pohon kehidupan moral masyarakat. Lebih jauh, santri dituntut menjadi arsitek narasi alternatif yang beradab—membangun jembatan komunikasi di dunia maya yang sarat hikmah, di mana setiap unggahan menjadi dakwah yang menyentuh hati, bukan provokasi yang membakar amarah (Madjid, 1997). Bayangkan generasi yang tak hanya hafal ayat, tetapi juga paham cara menjaga rahmatan lil ‘ālamīn di dunia digital—sebuah revolusi spiritual yang lahir dari layar ponsel.

Sementara itu, lembaga media—yang sering terperangkap dalam pusaran sensasionalisme—diperlukan untuk menimba hikmah dari tradisi pesantren. Kebebasan berekspresi, meski luhur, tidak boleh menjelma menjadi pedang yang menebas adab dan menorehkan luka batin pada umat. Di sinilah terhampar potensi sinergi yang visioner: media modern dapat meminjam cahaya adab dari pesantren untuk menyeimbangkan logika rating dengan etika pemberitaan. Sebaliknya, pesantren dapat membuka dirinya terhadap dialog kritis dengan teknologi dan ruang publik, tanpa kehilangan ruh kesucian dan kesederhanaannya (Rahardjo, 1985).

Dalam visi peradaban hijau Islam, sinergi antara ta’dîm dan etika media ini dapat menumbuhkan bentuk baru dari dakwah ekologis digital—yakni dakwah yang tidak hanya menjaga martabat manusia, tetapi juga memuliakan bumi dan seluruh ciptaan-Nya. Di bawah bimbingan nilai ta’dîm, ruang maya dapat bertransformasi menjadi taman rahmat yang hijau dan inklusif, bukan jurang kegelapan yang memecah dan mengaburkan nurani.


PENUTUP 

Ta’dîm—jantung yang berdenyut spiritual di relung pesantren—adalah inti yang tak tergantikan dari filsafat pendidikan Islam, denyut nadi yang menghidupkan setiap hembusan ilmu. Ia bukan sekadar ekspresi emosional santri terhadap kiai, meski penuh kehangatan dan ketulusan; lebih dari itu, ta’dîm merupakan kesadaran filosofis yang mendalam bahwa ilmu, moralitas, dan penghormatan berpadu dalam harmoni ilahiah, seperti sungai yang mengalir dari sumber cahaya yang sama (Al-Ghazali, 2005). Dalam ruang suci pesantren, setiap pelajaran bukan hanya menajamkan akal, tetapi juga menyucikan hati, menumbuhkan karakter yang tunduk pada kebijaksanaan dan penuh cinta pada kebenaran.

Namun, zaman modern memberi kita cermin yang retak. Kasus kontroversial yang melibatkan Trans7 menjadi pelajaran pahit bagi publik—menyadarkan betapa rapuhnya fondasi ketika adab diabaikan. Ruang media, yang seharusnya menjadi panggung dialog beradab, berubah menjadi arena yang kehilangan orientasi moral, terperangkap dalam pusaran sensasi dan citra yang dangkal. Dalam situasi demikian, menjaga ta’dîm bukan lagi sekadar tugas para santri, melainkan panggilan peradaban—tanggung jawab kolektif untuk melindungi keutuhan makna dan martabat ilmu dari kehancuran yang disebabkan oleh kelalaian moral dan euforia visual yang menyesatkan. Ini bukan hanya pertempuran melawan arus modernitas, melainkan perjuangan untuk menjaga nyala api kebijaksanaan agar tidak padam di tengah badai disinformasi dan industrialisasi opini.

Dalam pandangan Islam yang agung, ilmu adalah cahaya yang menerangi kegelapan; anugerah Ilahi yang tidak akan menembus jiwa tanpa melalui terowongan adab yang suci dan terjaga. Karena itu, ta’dîm harus dimaknai ulang sebagai lentera etika yang memandu umat dalam berinteraksi dengan pengetahuan, guru, dan teknologi. Ia bukan warisan masa lalu, tetapi kompas moral masa depan.

Dalam visi peradaban hijau Islam yang Anda gagas, lentera ta’dîm dapat menjadi cahaya yang menuntun lahirnya pesantren hijau dan dakwah ekologis digital—gerakan spiritual yang menyatukan penghormatan kepada guru dengan penghormatan terhadap bumi. Keduanya berpadu dalam kesadaran bahwa menjaga kiai berarti menjaga ilmu, dan menjaga ilmu berarti menjaga ciptaan Tuhan. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya berilmu dan beradab, tetapi juga menjadi penjaga rahmatan lil ‘alamin di seluruh lapisan kehidupan—baik di ruang nyata maupun di dunia maya.


DAFTAR PUSTAKA 

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din [Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Zarnuji. (1994). Ta‘lim al-Muta‘allim: Thariq at-Ta‘allum [Pedoman Bagi Penuntut Ilmu]. Beirut: Dar al-Fikr.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Madjid, N. (1997). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Rahardjo, M. D. (1985). Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LP3ES.

Tirto.id. (2024, February 7). Salah Kaprah Representasi Pesantren di Media: Antara Hiburan dan Penghormatan. Diakses dari https://tirto.id
Selengkapnya -
Design by Abdul Munir | Edited By Djava.Jr | Supported By VanLou