Kebahagiaan adalah lawan kata
kesengsaraan. Manusia pasti ada yang sengsara dan ada yang bahagia. Allah Swt.
berfirman:
Di
kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan dengan
izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. Adapun
orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka
mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya
selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain).
Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun
orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam surga mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.
Ada yang mengatakan bahwa
kebahagiaan adalah kelapangan hati dan ketenteraman jiwa yang dirasakan manusia
pada momen atau situasi tertentu. Definisi ini masih menyisakan celah
kekurangan. Kelapangan hati kadang hanyalah sebuah ungkapan tentang kenikmatan sesaat, tetapi mengakibatkan
kepedihan sepanjang hayat. Demikian pula
ketenteraman jiwa yang dirasakan manusia sering merupakan tipuan palsu yang
segera berubah menjadi kesedihan dan kegelisahan. Misalnya, orang menaruh
hartanya di bank demi keamanan dan jaminan masa depan. Ini jelas bertentangan
dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Hartanya tidak akan berkah dan tidak
dijamin akan aman. Bisa saja hartanya itu ludes oleh sebab-sebab lainnya. Jadi, dengan menyimpan
kekayaannya di bank, sebenarnya ia bergantung pada sesuatu yang juga tidak
pasti.
Karena itu, kebahagiaan yang
diserukan Islam jauh lebih luas, lebih mencakup, dan lebih sempurna dibanding
apa yang didengung-dengungkan dunia timur ataupun barat. Atau, apa yang
digembar-gemborkan para filsuf, para ilmuwan sosial, dan yang lainnya.
Kebahagiaan sejati adalah rida
terhadap segala ketentuan Allah Swt.; kesulitan atau kemudahan, menyenangkan
atau menyakitkan. Kebahagian seperti ini senantiasa mengekal jauh di kedalaman
hati dan ruh walau dalam keadaan miskin atau sakit sekalipun. Jadi, puncak
kebahagiaan manusia, di dunia ataupun di
akhirat, sejatinya adalah tunduk melaksanakan segala hal yang diperintahkan
Allah Swt. Tidak ada hal lain yang lebih berguna dan lebih membuat manusia
bahagia selain mengikuti
perintah-perintah-Nya. Dan, tidak ada yang lebih membuat manusia sengsara
selain mengabaikan perintah-perintah-Nya.
Berkata Al-Ashfahânî dalam kitab
“al-Mufradât”-nya: “Kebahagiaan adalah membantu orang lain dalam urusan ilahiah
untuk memperoleh kebaikan.”
Jadi, orang yang bahagia adalah
orang yang beriman dan diberi petunjuk oleh Allah untuk mengerjakan kebaikan
dan meninggalkan kemungkaran, juga diberi kemampuan untuk menaati-Nya. Ia
bersyukur ketika dilimpahi kebahagiaan, bersabar ketika dirundung kesedihan. Ia
sadar bahwa Allahlah satu-satunya tempat kembali. Dengan begitu, hatinya selalu
rida terhadap Allah, mata batinnya senantiasa mencari kebahagiaan dunia-
akhirat.
Kebahagiaa sejati adalah anugerah yang
diberikan Allah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, apa pun yang ada di sisi
Allah tidak akan pernah bisa kita raih kecuali dengan mematuhi dan menaati
aturan-Nya.