Thursday, October 16, 2025

TA’DÎM SANTRI TERHADAP KIAI: REFLEKSI FILOSOFIS DAN RELEVANSINYA PADA ISU TRANS7

TA’DÎM SANTRI TERHADAP KIAI: REFLEKSI FILOSOFIS DAN RELEVANSINYA PADA ISU TRANS7

Oleh: Dr. H. Fauzan, S.Pd., M.Si

Santri Prof. KH. Shodiq Mahmud, S.H


PENDAHULUAN 

Dalam hembusan angin malam yang membawa aroma tanah basah pesantren, tersimpan denyut kehidupan keislaman Nusantara yang melampaui sekadar ruang belajar formal. Di balik temaram lampu minyak dan lantunan doa yang mengalun lembut, hidup sebuah relasi suci antara santri dan kiai—sebuah jembatan eksistensial yang menghubungkan dunia ilmu dan dunia ruhani, menyatu dalam harmoni spiritual yang mendalam, epistemologi yang abadi, dan warna kultural yang menawan. Konsep ta’dîm—penghormatan tulus dan mutlak santri terhadap kiai sebagai pewaris ilmu suci—tidak hanya menjadi pondasi moral pesantren, melainkan juga penjaga bara keadaban dan kesinambungan pengetahuan yang tak pernah padam, sebagaimana diilustrasikan oleh Nurcholish Madjid dalam visinya tentang Islam progresif dan berperadaban (Madjid, 1997). Dalam hakikat terdalamnya, ta’dîm bukanlah sekadar ritual sopan santun; ia adalah filsafat hidup, jalan spiritual yang menuntun jiwa menuju keselarasan dengan Tuhan. Di dalam diri kiai, santri menemukan cermin tauhid—pantulan cahaya ilahi yang menuntun langkah mereka menapaki jalan ilmu dan kebijaksanaan.

Namun, di tengah badai modernitas yang menderu tanpa jeda—ketika gelombang digitalisasi dan arus media massa menggerus kedalaman makna—nilai luhur ini menghadapi guncangan yang tak terelakkan. Sebuah tayangan di Trans7, yang dengan dalih hiburan justru menistakan simbol kiai dan kehidupan pesantren yang sakral, menjadi ironi tragis di hadapan publik. Ia mencerminkan bagaimana media sering tersandung dalam membaca “bahasa adab” yang halus, penuh nuansa, dan sarat makna spiritual dunia pesantren (Tirto.id, 2024). Insiden ini bukan sekadar kekeliruan produksi atau miskomunikasi budaya; ia merupakan alarm filosofis—seruan keras bahwa nilai-nilai luhur sedang terkikis oleh representasi instan yang menukar kedalaman dengan sensasi, dan kesucian dengan tontonan dangkal.

Fenomena ini mengantar kita pada refleksi yang lebih dalam dan mendesak: bagaimana filsafat ta’dîm, sebagai etika relasional yang berakar pada ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamīn, dapat dihidupkan kembali di tengah dunia yang hiper-konektif? Bagaimana tradisi penghormatan yang sarat makna itu dapat bertahan dari gempuran visualisasi cepat dan narasi media yang dangkal, tanpa kehilangan kesakralannya? Di sinilah titik pijak transformasi diperlukan—menjadikan ta’dîm bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi visi etis masa depan. Ia dapat diintegrasikan dalam narasi kontemporer, seperti gagasan “pesantren hijau” yang menyatukan spiritualitas dengan etika ekologis, menautkan adab dengan keberlanjutan, dan ilmu dengan kesadaran sosial.

Dengan demikian, ta’dîm tidak hanya bertahan, melainkan berevolusi menjadi kekuatan moral yang menyejukkan dan inspiratif—menjadi pelita yang membimbing generasi baru untuk menghormati yang abadi di tengah yang fana, menegakkan adab di tengah hiruk-pikuk dunia digital, dan menjaga kemuliaan ilmu di tengah derasnya arus informasi yang sering kehilangan arah.


FILOSOFI TA’DÎM: ANTARA OTORITAS ILMU DAN ADAB SPIRITUAL 

Secara etimologis, konsep ta’dîm—penghormatan yang mendalam dan penuh kesadaran—berakar dari kata Arab ‘aẓama, yang bermakna mengagungkan, memuliakan, dan menempatkan sesuatu pada derajat kemuliaan tertinggi. Dalam konteks spiritual Islam, kata ini melambangkan sikap pengakuan terhadap keagungan yang bersumber dari nilai-nilai ilahi; sebuah penghormatan yang tidak sekadar bersifat sosial, tetapi juga teologis. Dalam tradisi Islam klasik, penghormatan ini merupakan fondasi keberkahan ilmu pengetahuan. Imam al-Zarnūjī dalam karya monumentalnya Ta‘lim al-Muta‘allim menegaskan dengan penuh kedalaman, bahwa adab harus mendahului ilmu, sebab ilmu tanpa adab ibarat cahaya tanpa sumber—akan redup dan menyesatkan (Al-Zarnūjī, 1994). Tanpa penghormatan, pengetahuan kehilangan rohnya; ia menjelma menjadi pedang bermata dua yang dapat melukai pemiliknya sendiri.

Dari perspektif filosofis, ta’dîm dapat dipahami sebagai kesadaran epistemik—yakni pengakuan bahwa pengetahuan tidak pernah lahir dari kehampaan, melainkan dari rantai otoritas moral dan spiritual yang terpelihara lintas generasi. Dalam sistem pendidikan pesantren, kiai bukan sekadar pengajar teks suci, melainkan guardian of values—penjaga nilai-nilai abadi yang memastikan bahwa ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi juga dihidupi. Ia berperan sebagai penafsir moral yang menghubungkan wahyu dengan kenyataan sosial yang dinamis dan sering kali kacau (Rahardjo, 1985). Dengan kewibawaannya yang berakar pada keikhlasan, kiai menjelma menjadi mercusuar peradaban yang menuntun santri menapaki jalan ilmu, bukan sekadar untuk mengetahui, tetapi untuk menjadi: insan yang berilmu, beradab, dan beramal.

Dalam kerangka pemikiran ini, sikap hormat santri terhadap kiai tidak dapat dipahami sebagai bentuk kultus atau ketundukan buta. Ia justru merupakan ekspresi paling murni dari pengakuan terhadap logos keilmuan—prinsip kebenaran universal yang berdiri di atas fondasi adab. Al-Ghazali, sang filsuf dan sufi besar, menggambarkan guru sebagai “perantara antara manusia dan kebenaran Ilahi”, sosok yang menjadikan pengajaran bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga perjalanan penyucian jiwa (Al-Ghazali, 2005). Dalam makna ini, ta’dîm menjadi praksis filosofis yang menyatukan tiga poros utama kehidupan intelektual Islam: akal, ruh, dan akhlak. Ia bukan sekadar ritual penghormatan, melainkan bentuk kesadaran ontologis bahwa ilmu sejati adalah api yang menyala dalam jiwa—membakar kesombongan, menerangi kebodohan, dan mengubah manusia menjadi makhluk yang lebih luhur serta selaras dengan rahmat semesta.

Di tengah era modern yang sering mereduksi pengetahuan menjadi komoditas, ta’dîm hadir sebagai penegasan kembali terhadap dimensi sakral ilmu. Ia mengingatkan kita bahwa menghormati guru bukan hanya menghormati individu, tetapi menghormati warisan keabadian: kesinambungan makna, adab, dan kebijaksanaan yang membentuk peradaban. Dalam penghormatan itulah, ilmu menemukan tempat sucinya—bukan di rak buku atau layar digital, tetapi di dalam hati yang tunduk dan jiwa yang tercerahkan.


PESANTREN DAN STRUKTUR ADAB EPISTEMIK 

Pesantren, sebagai laboratorium adab yang hidup dan bernafas, merupakan ruang suci tempat ilmu tidak hanya dipelajari, tetapi juga dihidupi. Di sana, pencarian pengetahuan senantiasa berjalan beriringan dengan penempaan karakter dan penyucian spiritualitas—sebuah proses holistik yang menyalakan jiwa agar menjadi lebih tangguh, bening, dan bercahaya (Madjid, 1997). Dalam atmosfer inilah ta’dîm hadir sebagai medium magis, jembatan tak kasat mata yang memastikan ilmu tidak dicari dengan ambisi kosong, tetapi dengan kesadaran moral dan niat yang suci, seolah setiap butir pengetahuan dibersihkan dari debu duniawi sebelum bersemayam di hati pencarinya.

Relasi antara kiai dan santri, meskipun tampak hierarkis, sesungguhnya jauh dari bayang-bayang otoritas yang menindas. Ia tumbuh dari akar mahabbah wa tsiqah—cinta dan kepercayaan yang saling menguatkan—seperti akar beringin yang merangkul tanahnya dengan lembut namun kokoh. Dalam perspektif sosiologis Pierre Bourdieu, ikatan ini membentuk habitus intelektual, yakni sistem disposisi halus yang menghasilkan perilaku teratur dan penuh makna; di mana setiap gerak, kata, dan tatapan santri mencerminkan warisan spiritual yang hidup dalam keseharian mereka (Bourdieu, 1984). Dalam tatanan ini, ta’dîm berfungsi sebagai etika pengikat—suatu poros moral yang menjaga legitimasi ilmu agar tetap suci, dan sekaligus menopang otoritas pesantren sebagai mercusuar kebajikan di tengah gelombang zaman yang bergolak.

Namun, di tengah arus modernisasi yang deras dan sering kali serba instan, makna ta’dîm kerap disalahpahami—direduksi menjadi simbol feodalisme usang yang dianggap menghambat kebebasan berpikir. Padahal, dalam epistemologi pesantren yang kaya dan berlapis, penghormatan ini bukanlah belenggu, melainkan manifestasi dari tanggung jawab epistemik (epistemic responsibility). Ia mengajarkan bahwa ilmu sejati menuntut disiplin moral dan kesadaran etis, bukan kebebasan liar yang kehilangan arah (Rahardjo, 1985).

Ta’dîm dengan demikian menjadi panggilan halus untuk menjaga keseimbangan antara pengetahuan dan kebajikan, antara nalar dan nurani—agar ilmu tidak hanya memenuhi pikiran, tetapi juga menyucikan hati. Dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam visi peradaban hijau Islam, nilai ta’dîm dapat menjadi pondasi bagi lahirnya “pesantren hijau”: sebuah model pendidikan yang memadukan penghormatan kepada kiai dengan tanggung jawab ekologis. Di sini, santri tidak hanya diajar untuk bijak secara spiritual, tetapi juga untuk mencintai dan melindungi bumi sebagai wujud nyata dari rahmatan lil ‘ālamīn.

Dengan demikian, ta’dîm bukan hanya warisan tradisi, tetapi juga energi moral yang dapat ditransformasikan menjadi etika ekologis dan sosial baru—menjadikan pesantren bukan sekadar pusat ilmu agama, tetapi pusat kebijaksanaan yang menyalakan peradaban masa depan.


MEDIA DAN KRISIS REPRESENTASI KIAI 

Kasus kontroversial tayangan di Trans7 yang dianggap melecehkan figur kiai menjadi cermin tajam dari benturan dua dunia yang saling bertabrakan: tradisi adab pesantren yang penuh makna spiritual, versus logika industri media yang haus sensasi (Tirto.id, 2024). Di satu sisi, dunia pesantren berdenyut dalam irama simbolik dan spiritual, di mana setiap kata dan gerak sarat dengan penghormatan mendalam terhadap ilmu dan ulama—sebuah ekosistem jiwa yang menjaga keseimbangan antara wahyu dan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, media massa terperangkap dalam pusaran logika visual yang memukau mata, sensasional yang memprovokasi emosi, dan komersial yang mengukur segalanya dengan rating, sering kali mengorbankan kedalaman demi kilauan sesaat.

Melalui teori representasi Stuart Hall, kita melihat bagaimana media bukan sekadar cermin pasif realitas, melainkan pabrik makna yang aktif—memproduksi narasi melalui proses seleksi tajam dan framing yang licik (Hall, 1997). Saat kiai digambarkan secara karikatural atau dangkal, seperti boneka lucu dalam sandiwara murahan, yang hancur bukan hanya citra pribadi semata; yang retak adalah tatanan simbolik keseluruhan—fondasi penghormatan terhadap ilmu dan ulama yang telah menjadi pilar peradaban selama berabad-abad. Ini seperti merobek halaman suci dari kitab kehidupan, meninggalkan luka yang tak terlihat tapi dalam.

Fenomena ini semakin terang benderang jika kita pakai lensa "kekerasan simbolik" Pierre Bourdieu, di mana media muncul sebagai raja baru otoritas simbolik, dengan kuasa untuk mendefinisikan siapa yang pantas dihormati sebagai pahlawan dan siapa yang boleh diejek sebagai bahan tertawaan (Bourdieu, 1984). Dalam pusaran ini, pesantren mengalami subordinasi simbolik yang menyakitkan: nilai-nilai sucinya—yang lahir dari ta’dîm dan mahabbah—direduksi menjadi bayang-bayang pudar oleh budaya visual yang miskin empati, tak peka terhadap adab yang menjadi napas tradisi. Pesantren, laboratorium adab yang Anda gambarkan sebagai penempa karakter dan spiritualitas, kini terpinggirkan, seolah-olah kebijaksanaannya kalah oleh hiruk-pikuk layar kaca.

Inti masalahnya bukanlah kebebasan pers yang mulia, melainkan ketiadaan kebijaksanaan dalam representasi—sebuah kelalaian yang membiarkan media mengabaikan sensitivitas budaya keagamaan yang rapuh (NU Online, 2024). Akibatnya, bukan hanya alienasi spiritual yang lahir di hati umat, tapi juga disharmoni sosial yang merembet, memecah belah masyarakat antara yang menghormati warisan dan yang terbuai sensasi. Dalam visi peradaban hijau Islam yang Anda junjung, kasus ini menjadi peringatan mendesak: media harus belajar dari epistemologi pesantren, di mana representasi tak boleh merusak harmoni alam dan jiwa. Bayangkan jika "dakwah ekologis" dan "pesantren hijau" direpresentasikan dengan framing yang salah—bukan sebagai rahmatan lil ‘alamin, tapi sebagai lelucon belaka. Saatnya media bangkit sebagai penjaga adab, bukan perusaknya, untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kesucian.


REAKTUALISASI TA’DÎM DI ERA DIGITAL 

Relevansi ta’dîm—penghormatan yang mendalam dan abadi—tidak pernah berhenti pada gestur fisik seperti mencium tangan atau menundukkan kepala. Tindakan-tindakan itu hanyalah permukaan dari samudra makna yang jauh lebih luas. Dalam konteks kontemporer yang sarat turbulensi dan banjir informasi, ta’dîm berevolusi menjadi penghormatan yang agung terhadap integritas ilmu dan kemanusiaan itu sendiri: sebuah panggilan suci untuk menjaga kesucian pengetahuan di tengah pusaran disrupsi digital. Ia menuntut tanggung jawab etis yang kokoh di ruang maya yang tak bertepi—tentang bagaimana kita menyebarkan, menafsirkan, dan menilai tokoh agama di arena publik yang kerap menjadi medan perang narasi, di mana satu klik dapat membangun atau meruntuhkan warisan spiritual berabad-abad lamanya.

Santri masa kini, sebagai pewaris api kebijaksanaan pesantren, ditantang untuk memahami ta’dîm bukan semata ritual simbolik, melainkan pilar utama literasi digital Islam—keterampilan yang memadukan iman, ilmu, dan etika siber. Menghormati kiai dalam konteks digital berarti menjaga martabat beliau dari distorsi informasi dan manipulasi opini yang kerap menyamar sebagai kebenaran. Ini adalah bentuk jihad baru: melindungi citra dan pesan para ulama dari virus digital yang perlahan menggerogoti akar pohon kehidupan moral masyarakat. Lebih jauh, santri dituntut menjadi arsitek narasi alternatif yang beradab—membangun jembatan komunikasi di dunia maya yang sarat hikmah, di mana setiap unggahan menjadi dakwah yang menyentuh hati, bukan provokasi yang membakar amarah (Madjid, 1997). Bayangkan generasi yang tak hanya hafal ayat, tetapi juga paham cara menjaga rahmatan lil ‘ālamīn di dunia digital—sebuah revolusi spiritual yang lahir dari layar ponsel.

Sementara itu, lembaga media—yang sering terperangkap dalam pusaran sensasionalisme—diperlukan untuk menimba hikmah dari tradisi pesantren. Kebebasan berekspresi, meski luhur, tidak boleh menjelma menjadi pedang yang menebas adab dan menorehkan luka batin pada umat. Di sinilah terhampar potensi sinergi yang visioner: media modern dapat meminjam cahaya adab dari pesantren untuk menyeimbangkan logika rating dengan etika pemberitaan. Sebaliknya, pesantren dapat membuka dirinya terhadap dialog kritis dengan teknologi dan ruang publik, tanpa kehilangan ruh kesucian dan kesederhanaannya (Rahardjo, 1985).

Dalam visi peradaban hijau Islam, sinergi antara ta’dîm dan etika media ini dapat menumbuhkan bentuk baru dari dakwah ekologis digital—yakni dakwah yang tidak hanya menjaga martabat manusia, tetapi juga memuliakan bumi dan seluruh ciptaan-Nya. Di bawah bimbingan nilai ta’dîm, ruang maya dapat bertransformasi menjadi taman rahmat yang hijau dan inklusif, bukan jurang kegelapan yang memecah dan mengaburkan nurani.


PENUTUP 

Ta’dîm—jantung yang berdenyut spiritual di relung pesantren—adalah inti yang tak tergantikan dari filsafat pendidikan Islam, denyut nadi yang menghidupkan setiap hembusan ilmu. Ia bukan sekadar ekspresi emosional santri terhadap kiai, meski penuh kehangatan dan ketulusan; lebih dari itu, ta’dîm merupakan kesadaran filosofis yang mendalam bahwa ilmu, moralitas, dan penghormatan berpadu dalam harmoni ilahiah, seperti sungai yang mengalir dari sumber cahaya yang sama (Al-Ghazali, 2005). Dalam ruang suci pesantren, setiap pelajaran bukan hanya menajamkan akal, tetapi juga menyucikan hati, menumbuhkan karakter yang tunduk pada kebijaksanaan dan penuh cinta pada kebenaran.

Namun, zaman modern memberi kita cermin yang retak. Kasus kontroversial yang melibatkan Trans7 menjadi pelajaran pahit bagi publik—menyadarkan betapa rapuhnya fondasi ketika adab diabaikan. Ruang media, yang seharusnya menjadi panggung dialog beradab, berubah menjadi arena yang kehilangan orientasi moral, terperangkap dalam pusaran sensasi dan citra yang dangkal. Dalam situasi demikian, menjaga ta’dîm bukan lagi sekadar tugas para santri, melainkan panggilan peradaban—tanggung jawab kolektif untuk melindungi keutuhan makna dan martabat ilmu dari kehancuran yang disebabkan oleh kelalaian moral dan euforia visual yang menyesatkan. Ini bukan hanya pertempuran melawan arus modernitas, melainkan perjuangan untuk menjaga nyala api kebijaksanaan agar tidak padam di tengah badai disinformasi dan industrialisasi opini.

Dalam pandangan Islam yang agung, ilmu adalah cahaya yang menerangi kegelapan; anugerah Ilahi yang tidak akan menembus jiwa tanpa melalui terowongan adab yang suci dan terjaga. Karena itu, ta’dîm harus dimaknai ulang sebagai lentera etika yang memandu umat dalam berinteraksi dengan pengetahuan, guru, dan teknologi. Ia bukan warisan masa lalu, tetapi kompas moral masa depan.

Dalam visi peradaban hijau Islam yang Anda gagas, lentera ta’dîm dapat menjadi cahaya yang menuntun lahirnya pesantren hijau dan dakwah ekologis digital—gerakan spiritual yang menyatukan penghormatan kepada guru dengan penghormatan terhadap bumi. Keduanya berpadu dalam kesadaran bahwa menjaga kiai berarti menjaga ilmu, dan menjaga ilmu berarti menjaga ciptaan Tuhan. Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya berilmu dan beradab, tetapi juga menjadi penjaga rahmatan lil ‘alamin di seluruh lapisan kehidupan—baik di ruang nyata maupun di dunia maya.


DAFTAR PUSTAKA 

Al-Ghazali. (2005). Ihya’ ‘Ulum al-Din [Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama]. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Zarnuji. (1994). Ta‘lim al-Muta‘allim: Thariq at-Ta‘allum [Pedoman Bagi Penuntut Ilmu]. Beirut: Dar al-Fikr.

Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Madjid, N. (1997). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Rahardjo, M. D. (1985). Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LP3ES.

Tirto.id. (2024, February 7). Salah Kaprah Representasi Pesantren di Media: Antara Hiburan dan Penghormatan. Diakses dari https://tirto.id