Friday, August 9, 2013
Petruk Mencari Jati Diri 3
Petruk Mencari Jati Diri 3
Memang benar bahwa Semar bukan bapak kandung Petruk. Juga benar bahwa Jelmaan Sang Hyang Ismoyo ini yang menyeret Petruk ke Mayapada. Tapi tak ada sedikitpun perasaan menyalahkan bapaknya atas semua kejadian yang telah terjadi padanya. Tak ada secuil pun fikiran bahwa dirinya di fitakompli oleh Kiai Semar Bodronoyo.
Petruk tak pernah menyesali ujudnya yang tidak proporsional, jauh dari postur ideal seorang manusia. Hidung kelewat panjang, lengan yang menjulur kebawah melampaui lutut, badan kurus tapi perutnya buncit, wajah tirus mulut lebar hampir menyentuh telinga. Padahal dulunya, sebelum menjadi Petruk, dia ini bernama Prabu Mercukilan, raja jin yang tampan dan gagah perkasa. Kesaktian Prabu Mercukilan tidak ada yang menyangsikan.
Suatu saat Prabu Mercukilan memasuki kahyangan Junggring Saloko, minta salah seorang dewi kahyangan bernama Utari untuk dijadikan isteri. Permintaannya ditolak, raja jin ini mengamuk mengobrak-abrik kerajaan dewa-dewa tersebut. Tak ada satu dewa pun yang mampu mengimbangi kesaktian raja yang kasmaran ini. Batara Guru Sang Hyang Otipati si Maha Dewa pun tak luput dibuat babak belur.
Keributan di kahyangan ini akhirnya dapat diredam setelah Kiai Semar bersedia turun tangan. Meskipun tidak mudah, akhirnya Prabu Mercukilan dapat ditaklukkan Kiai Semar setelah menjalani pertempuran seabad lamanya. Pertempuran yang tak urung menyisakan cacat fisik menetap pada diri raja jin biang onar, hilang sudah wajah tampan, tubuh gagah perkasa. Berubah menjadi wujud Petruk yang sekarang ini. Selanjutnya Petruk diangkat anak oleh Semar menjadi adik Gareng yang sejatinya juga raja taklukan kiai Semar.
Tak ada setitikpun perasaan dendam di hati Petruk terhadap bapaknya ini. Yang ada justeru rasa hormat yang teramat dalam. Tapi meskipun sudah berabad-abad dia mengikuti langkah bapaknya, sungguh tidak mudah untuk memahami semua keputusan yang diambil oleh Ki Lurah Semar Bodronoyo ini. Bahkan acap kali menyisakan rasa gemas di hati Petruk. Pengalaman menyaksikan terbunuhnya Ekalaya, adalah satu dari ribuan kejadian yang mau tidak mau memaksa Petruk berfikir keras untuk menemukan alasan apa yang mendasari sikap bapaknya.
Sikap Bagong, adiknya, yang terkesan cuek dan selalu mengabaikan sopan santun. Serta sikap Kang Gareng yang ekspresif sehingga terkesan mendramatisir masalah. Keduanya merupakan hal yang juga selalu menimbulkan sedikit kekhawatiaran di hati Petruk.
Mudah-mudahan Kang Gareng belum cukup dianggap sekaliber dengan Ekalaya, sehingga harus dilenyapkan. Meskipun tindakan melenyapkan Gareng bukan pekerjaan mudah, kesaktian anak sulung Semar ini tak bisa ditandingi oleh dewa dan ksatria manapun juga. Yang dikhawatirkan Petruk adalah tipu daya, muslihat, kelicikan atau keculasan yang sering kali terbukti bisa mengalahkan kesaktian yang mahambara sekalipun.
Masih segar di ingatannya, kejadian terbunuhnya Supala, yang juga menyisakan penasaran dihati Petruk. Supala adalah Patih Kerajaan Magada, bukan raja, tidak punya pengaruh apa-apa. Juga tidak sesakti Ekalaya. Toh mati juga digilas oleh Sri Kresna.
Apakah perlu Sri Kresna pamer kesaktian? Apakah perlu memberangus seseorang yang tidak berpengaruh? Apakah kritikan selalu dianggap sebagai ancaman? Apakah perbedaan harus ditiadakan?
Dan yang lebih membuat bingung: mengapa Kiai Semar membiarkan ketidakadilan terjadi? Semar adalah Mbah Biangnya kesaktian, apa sulitnya menghalangi kesewenang-wenangan?
Peristiwa bermula di negeri Indraprastha yang dirajai oleh Prabu Puntadewa atau Yudisthira si Darah putih bermaksud mengadakan samrat, semacam perjanjian persekutuan politik dan ekonomi dengan beberapa negara tetangga. Kerajaan Hindustan, Pracicu, Mandaraka, Malawa, Sindu dan yang lainnya menerima itikad baik usul persahabatan itu.
Pada saat upacara Rajasuya, yakni penobatan persekutuan itu, kurang jelas bagaimana proses mekanisme lobinya, Sri Kresna diangkat sebagai ketua sidang.
Apakah semua sepakat demikian? Ternyata tidak, ada kaum separatis, sempalan.
Ada sebuah instrumen musik yang berjalan dan berbunyi tidak sesuai dengan kerangka aransemen telah dirancang susah payah oleh Kresna.
Orang tolol dari mana yang berani-beraninya menabrak tatanan baku? Siapa yang mengajari dia bertindak bodoh untuk menjebol aturan, keluar dari pakem?
Ya itu tadi. Supala namanya. Patih Kerajaan Magada. Apakah ia seorang idealis? Seorang independen? Seorang pemegang teguh ideologi yang bersedia membelah gunung dan merobek langit untuk memperjuangkannya? Ataukah hanya sekedar satria yang menghargai kemerdekaan berpendapat lebih mahal dari nyawanya sendiri?
Benar bahwa Prabu Jarasanda Raja Magada junjungannya, baru saja diremukkan kepalanya oleh Bima, saat berlangsungnya penaklukan Indraprastha atas Magada. Penaklukan. Perhatikan baik-baik: Penakluklan!
Tentu saja Supala adalah orang yang paling memiliki hak sejarah untuk bertanya di forum yang mengangkat Prabu Kresna: “Hai titisan Wisnu yang merasa dirimu paling bijaksana!Ini Samrat atau kolonialisasi? Persekutuan ataukah penaklukan? Ini kesepakatan atau titah?”
Forum menjadi senyap saat Supala tiba-tiba mengangkat tangan dan mengeluarkan protes keras, langsung menohok kepada Sri Kresna. ” Semua ini hanyalah sandiwara! Semua ini hanya bersumber pada muslihat Paduka Yang Mulia Bathara Kresna, saat ini kita dihimpun untuk melakukan upacara palsu seolah-olah kita sedang merundingkan persahabatan. Saya akan mencabut kata-kata saya, kalau sidang ini tidak dipimpin oleh Kresna!”
Sidang samrat gempar. Semua raja dan utusan yang hadir tahu persis apa yang selanjutnya akan terjadi. Sang Kresna mengankat leher dan mendongkakkan kepala.
“Apa maksudmu, Supala?” terdengar suara Kresna datar, mengerikan semua hadirin.
“Saya mengajukan keberatan atas dasar dua hal,” jawab Supala
“Kamu merasa dendam atas kematian rajamu?”
“Itu adalah hal terakhir. Tapi yang penting adalah, pertama, kita yang ada di sini semua tahu betapa saktu Paduka Kresna. Tak seorangpun dalam pertemuan ini sanggup mengalahkan Paduka. Hali ini bisa menjadi sumber bias dalam perundiangan samrat ini. Perundingan ini seharusnya tak ada hubungannya dengan kesaktian. Kesaktian hanya bertempat tinggal di peperangan. Perundingan adalah tempat bertemunya semangat kerja sama dan itikad untuk saling membantu, serta kesediaan untuk saling memelihara kesejahteraan. Kalau kesaktian dianggap sebagai ukuran, maka perundingan hanya mungkin dilakukan oleh pihak-pihak yang kesaktiannya berimbang”
“Teruskan,” sahut Kresna.
Semua yang hadir merasa aneh Kresna tidak membantah argumentasi Supala. seharusnya ia bisa mengemukakan bahwa yang memimpin sidang bukan kesaktian, tapi Sri Kresna.
Petruk yang melihat kejadian ini, meskipun dia tidak berhak mengeluarkan meskipun hanya sekedar satu suku kata dari mulutnya, langsung merasa gelisah. Dia sangat mengerti, betapa mengerikannya paham kekuasaan Bathara Kresna.
Saat dia hendak bertanya kepada bapaknya, dia sudah mendapati Kiai Semar mendengkur di bawah pohon beringin di luar ruang perundingan. Petruk tahu bapaknya hanya pura-pura tidur.
“Aku usul agar sidang ini dipimpin oleh orang yang paling rendah tingkat kesaktiannya,” lanjut Supala.
Forum mendengung. “Aku yakin tak seorangpun mau maju untuk menjadi pimpinan yang direndahkan,” kata Kresna.
“Paduka jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan sendiri. Ini pertemuan runding, bukan pertemuan titah!”
“Baiklah teruskan,” nampak sekali Kresna menahan diri.
“Hal yang kedua,” lanjut Supala, “Nalar perundingan Samrat ini akan absurd jika diketuai oleh seorang yang bisa seenaknya mengatasnamakan kehendak Dewa-Dewa. Pendapatnya akan dipaksakan atas nama dewa, atas nama kerja sama, tapi dalam penafsiran sepihak. Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa Paduka tidak memiliki keabsahan mengaku atau dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu. Tapi konsep semacam itu selalu cenderung mengurangi daya nalar kita atas persoalan-persoalan serta menurunkan kesehatan proses perundingan!”
Forum Samrat menjadi benar-benar mencekam. Semua yang hadir berdegup kencang jantungnya dan hampir tak bernafas.
“Sudah, Supala?” suara Kresna bergetar.
“Sudah, Paduka!” jawab Supala
Petruk yang sudah sangat hafal pola pikir titisan Wisnu, tahu persis apa yang selanjutnya akan terjadi.
“Aku hargai semua pendapatmu tanpa harus kusebut bahwa kamu adalah anak kemarin sore yang berakal ngawur dan berilmu dangkal,” suara Kresna memeacha kesunyian, “Di Mayapada ini setiap manusia boleh mengemukanan apa saja, tapi harus mengerti dalam situasi apa dan bagaimana ia kemukakan pendapatnya. Siapa saja boleh mengkritik, tapi harus dengan garis ketenteraman Mayapada. Semua boleh ngomong apa saja, tapi tidak dengan melanggar keselarasan, kesatuan dan persatuan. Adapun yang kamu lakukan Supala.”—Waktu bagaikan berhenti oleh kalimat Kresna— “Adalah penghinaan atasku didepan umum! Masalahnya sekarang ini bukanlah soal perbedaan pendapat, melainkan tindakan pidana penghinaan. Bukan sekedar penghinaan Satria kepada sesepuhnya, tapi juga penghinaan seorang lelaki kepada lelaki yang lain.”
Daun-daun gugur dari tangkainya. Mendung tiba-tiba merapat dan angin menyisih menjauh.
Sri Kresna bermaksud menyelesaikan persoalan itu secara lelaki. Ia meloncat ke pintu gedung Samrat, keluar ke halaman, “Keluarlah, Supala! Hadapi aku secara jantan.”
Seluruh hadirin beranjak dan keluar gedung dalam kesenyapan. Suasana menjadi beku. Tidak akan terjadi duel. Tak kan ada perkelahian. Ini adalah pembantaian. Supala hanyalah seseorang, sedangkan Kresna adalah segala-galanya.
Petruk bingung, hanya bisa mengurut dada. Ingin bertanya ke bapaknya, tapi Kiai Semar ngorok semakin keras. Gareng dan Bagong entah pergi kemana. Petruk hanya mencoba untuk bersikap rasional dan proporsional, mengesampingkan segala perasaan dan opininya.
Sesungguhnya ini sangat memalukan. Tidak satu sel pun dari tubuh Kresna yang perlu ber-tiwikrama untuk sanggup menumpas Patih Supala. Bahkan gerak kegagahan yang ditampilkan oleh Raja Dwarawati pelindung Pandawa itu tak menghasilkan apapun kecuali mengerdilkan derajad Sri Kresna Sendiri. Ini adalah opini Petruk.
Demikianlah, Kresna hanya perlu menjentikkan jari kelingking, musnahlah kehidupan Supala!
Namun toh Kresna merasa perlu mendemonstrasikan keperkasaannya di depan Raja-Raja yang hadir. Sesudah ribuan anak panah Supala hangus menjadi debu sebelum mencapai tubuh Kresna, Titisan Wisnu yang maha bijaksana itu memuntir kepala Supala!
Seluruh hadirin terdiam. Suasana teramat kaku. tapi itu tak berlangsung lama. Saat terdengar salah seorang bertepuk tangan, maka semua yang hadir pun riuh bertepuk tangan.
Kegembiraan muncul dengan anehnya. Mereka seolah-olah, tahu bersungguh-sungguh, mensukuri mampusnya seorang yang mengancam keselarasan.
Persoalannya gamblang. Itu semua bukan hanya sekedar pertunjukan tentang paham kekuasaan. Tapi juga pameran perikebinatangan. Atau semacam gangguan kejiwaan amat serius yang terjadi pada manusia yang karib bergaul dengan kekuasaan.
Wajah Petruk pucat pasi, badan serta kaki dan tangannya menjadi dingin tak ubahnya sebongkah es. Tak ada lagi keinginan bertanya kepada bapaknya. Hatinya teriris-iris untuk kesekian ribu kalinya.
“… Duh Gusti, apakah Engkau akan mengangkat sebagai utusanMu, makhluk yang justeru gemar melakukan kerusakan di muka bumi, makhluk yang gemar menumpahkan darah diantara sesamanya? Padahal..”
Petruk melamunkan semua peristiwa itu sambil menghabiskan rokok siongnya yang tinggal segelintir dan bersandar pada tumpukan kayu bakar yang baru selesai di belah-belahnya. Lamunannya buyar karena teriakan Gareng “Truk!!!… Semar hilang! Semar Hilang”