Perjalan hidup manusia untuk mencapai posisi
paling tinggi adalah ketika manusia belajar menjadi insan yang selalu ingat kepada Gusti Allah. Manusia inilah yang disebut
dzâkirûn atau dzâkirîn. Selalu ingat, dalam bahasa Jawanya ialah tansah
éling (émut). Inilah yang dulu senantiasa dikumandangkan oleh
saudara-saudara kita dari kalangan penghayat dan pengamal kepercayaan. Itulah
cita-cita manusia yang tertinggi.
Mengapa selalu ingat kepada Gusti Allah disebut posisi tertinggi? Karena,
orang yang senantiasa ingat kepada Gusti Allah adalah orang yang sudah
melupakan egonya. Orang yang
sudah tidak lagi memberikan tempat bagi egonya atau kepentingannya sendiri. Hal
semacam ini tentu saja bukanlah hasil dari potong kompas. Manusia untuk
dapat menjadi orang yang senantiasa mengingat-Nya merupakan hasil sebuah proses
yang panjang.
Proses itu alami. Artinya mengikuti hukum Ilahi yang telah ditetapkan di
alam ini. Tapi, mengapa kita perlu belajar bila proses itu alami? Ya, agar kita
dapat memasuki proses yang kita kehendaki. Mau pintar? Kita harus rajin
belajar, dan harus banyak meng-iqra. Ini sebuah proses! Bahwa kita sudah
banyak belajar dan iqra tapi belum pintar, itu karena ada faktor-faktor lain
yang ikut memengaruhi yang harus dibereskan lebih dahulu. Makanya, posisi
“dzâkir” itu di puncak perjalanan hidup.
Sebagaimana kita ketahui bahwa mengingat sendiri merupakan sebuah
proses. Apalagi untuk mengingat hal-hal tertentu. Dan, biasanya yang
diingat-ingat itu yang ada kaitannya dengan kepentingan kita. Sedangkan kebutuhan kita kepada Gusti Allah justru merupakan kepentingan yang ditanamkan oleh
lingkungan kita. Inilah yang membuat zikir dalam kehidupan sehari-hari
hanya merupakan rutinitas.
Untuk memahami sebuah proses zikir atau mengingat Allah itu, Alquran
memberikan tuntunan. Sulit kiranya kita mengetahui Allah secara langsung, tanpa
proses. Padahal, untuk mengingat sesuatu itu kita harus melihat atau
mengetahuinya lebih dulu. Kita bisa mengingat wajah teman kita bila kita biasa
bertemu dengannya. Kita bukan hanya memerhatikan rupanya, tapi juga suara,
gaya, dan tertawanya. Makin banyak tanda-tanda yang kita ketahui akan semakin
mudah mengingatnya.
Untuk mengingat Allah pun demikian. Kita harus kenali ciri-ciri-Nya,
yaitu sifat, asma dan faal-Nya. Tanpa mengenali hal-hal tersebut, mustahil
kita dapat mengingat-Nya. Oleh karena itu, menurut Alquran, yang perlu dikenali
dulu ialah faal atau af’al Gusti Allah yang berupa kenikmatan yang dilimpahkan
kepada kita.