Masyarakat Jawa dari
lehluhurnya sudah memiliki beraneka filosofi yang ketika dicermati memiliki
makna yang begitu dalam. Tetapi, anehnya filosofi yang diberikan oleh para
leluhur itu saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman.
Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Inilah percikan
contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.
1. “Dadio banyu, ojo dadi watu” (Jadilah air, jangan jadi
batu). Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya
jika ditelaah memang manungso kang
nduweni manunggaling roso itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu
(air).
Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu
bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang
diciptakan GUSTI ALLAH pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang
tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika
sampai di kulit kita.
Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga
dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun apapun. Pertanyaannya, lebih
utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?
Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi
bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan
lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana
saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu
dengan palu.
Artinya, meski terlihat lemah, namun air memiliki kekuatan yang dahsyat.
Tetes demi tetes air, akan mampu menghancurkan batu. Dari filosofi tersebut,
kita bisa belajar bahwa hidup di dunia ini kita seharusnya lebih mengedepankan
sifat lemah lembut bak air. Dunia ini penuh dengan permasalahan. Selesaikanlah
segala permasalahan itu dengan meniru kelembutan dari air. Janganlah meniru
kekerasan dari batu. Kalau Anda meniru kerasnya batu dalam menyelesaikan setiap
permasalahan di dunia ini, maka masalah tersebut tentu akan menimbulkan
permasalahan baru.
2. “Sopo Sing Temen Bakal Tinemu”, (Siapa yang sungguh-sungguh mencari, bakal menemukan yang dicari).
Tampaknya filosofi tersebut sangat jelas. Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu
nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan
menemukannya.
Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika
nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja
masih berlaku hingga saat ini.
3. “Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong
bakal kelangan”, (Siapa yang kehilangan bakal diberi,
siapa yang mencuri bakal kehilangan). Filosofi itupun juga memiliki kesan yang
sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan
agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal
kehilangan sesuatu (bukannya malah untung). Contohnya, ada orang yang dicopet.
Ia akan kehilangan uang yang dimilikinya di dalam dompetnya. Tetapi GUSTI ALLAH
akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan
tersebut. Tetapi bagi orang yang mencopet dompet tersebut, sebenarnya ia untung
karena mendapat dompet itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh GUSTI ALLAH,
entah dalam bentuk apapun.
Dari filosofi tersebut,
Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang
keadilan GUSTI ALLAH itu. GUSTI ALLAH itu adalah hakim yang adil.