Ibn ‘Arabi menguniversalkan konsepsi shalat, dengan meletakkannya dalam suatu konteks kosmologis, melalui penafsiran atas gerakan-gerakan tubuh dalam shalat:)
“Sebagaimana keberadaan (wujûd) (tercipta) oleh gerakan yang mengubah
dunia dari ketiadaan kepada
keberadaan, shalat
pun meliputi gerakan-gerakan (yang
melambangkan hal itu). Gerakan-gerakan shalat dapat
dibagi ke dalam tiga kelompok: gerakan vertikal, yakni
ketika orang yang shalat berada
dalam keadaan berdiri; gerakan horizontal, yakni ketika orang yang shalat berada dalam keadaan ruku‘; dan gerakan menurun, yakni ketika ia berada dalam keadaan bersujud.”
Ketiga kelompok
gerakan shalat
ini setara dengan bentuk-bentuk-kehidupan dasar dalam dunia ciptaan. Yang pertama —berdiri—setara dengan
manusia, mengingat
manusia adalah makhluk yang berdiri tegak. Yang kedua—ruku‘—dengan hewan, yang memang berjalan dalam keadaan tubuhnya
ber- ada dalam posisi horizontal. Dan yang ketiga—bersujud dalam
keadaan tenang—setara dengan tanaman dan benda-benda “mati” lainnya yang tak memiliki gerakan internal mereka sen- diri dan harus digerakkan oleh sesuatu yang lain. Hal ini sekaligus sejalan dengan
firman-Nya, “Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (yakni manusia dengan segala kele- bihannya), lalu kami empaskan dia hingga ke kerendahan yang
serendah-rendahnya (yakni benda mati).”
(Sayyid Haidar Amuli, ahli Ibn ‘Arabi yang banyak me-nulis buku untuk memopulerkan pikiran-pikiran Ibn ‘Arabi, menambahkan bahwa—boleh jadi—ketiga gerakan itu menyimbolkan tiga
kelompok malaikat
yang masing-masingnya
memiliki tugas untuk terus berdiri, duduk, dan bersujud.)
Dengan demikian, selain merupakan titik pertemuan antara
Tuhan dan manusia, shalat
menjadi suatu mikrokosmos (yang merepresentasikan) makrokosmos dunia ciptaan, dari ketiada-
an kepada keberadaan. Orang yang shalat, ketika melakukan gerakan-gerakan yang diwajibkan di dalamnya, sesungguhnya
sedang melakukan suatu perangkuman simbolik proses pen-
ciptaan dunia. Dan jika yang melakukan shalat
itu adalah seorang ‘ârif (yakni, orang-orang yang telah mencapai ting- katan spiritual) yang sempurna,
maka “melihat Tuhan” telah menyempurnakan proses itu dan menghasilkan suatu keber-
satuan total antara
manusia, Tuhan, dan (alam-)
ciptaan.
Mengenai jumlah rakaat—yakni 2, 3, dan 4 rakaat—hal itu merupakan gabungan antara berbagai
jumlah rakaat shalat
yang dilakukan
oleh nabi-nabi terdahulu. Diriwayatkan bahwa
Nabi Adam melakukan
shalat 2 rakaat, Nabi Nuh 3 rakaat, dan
Nabi Ibrahim 4 rakaat. Jumlah rakaat ini juga sejalan dengan
shalatnya para malaikat
sebagaimana dilambangkan dengan pernyataan Al-Quran, yakni bahwa para malaikat itu “terbang dengan sayap-sayap mereka”:
“Segala puji bagi Allah, Sumber lelangit
dan bumi, Sang Pencipta malaikat, para pesuruh yang terbang dengan sayap- sayap (mereka): dua, tiga, dan empat ....” Perbedaan-perbedaan ini kiranya juga sejalan belaka dengan firman-Nya, “Setiap orang berbuat sejalan dengan caranya” dan “Dia mengetahui shalatnya siapa saja dan bagaimana mereka mengagungkan
Allah. Allah tahu apa saja yang mereka
kerjakan.”
Shalat dilakukan
lima kali sehari sejalan dengan kepemilik-
an pancaindra manusia.
Meskipun dibutuhkan untuk kehi-
dupan manusia di dunia ini,
kelima indra itu selalu terarah
kepada “kegelapan” dunia materiil. Jika tidak dikendalikan, hati manusia akan cenderung dikotori dan digelapkan oleh
kesibukannya dengan dunia materiil ini dan, dengan demi- kian, terhijab dari dunia cahaya (ruhani), dan hubungannya
dengan Tuhan dapat terputus. Lima waktu shalat itu
ditetap- kan untuk mengimbanginya, mengingat dalam shalat pintu kelima indra itu (seharusnya) ditutup untuk menapis pengaruh
aspek “gelap” dunia materiil itu.
Demikianlah, dalam shalat, kepasrahan dan kerendah-dirian anggota tubuh, pemeliharaan dan pembersihannya dari
pengaruh-pengaruh buruk,
pengingatan, pengagungan, dan pemujian Allah oleh lisan, penyelarasan yang lahir dan batin
melalui niat, penghindaran dari kenikmatan-kenikmatan
indriawi, pengingatan keadaan-keadaan dunia malakût (ruhani) dan jabarût (hadirat atau wilayah Allah), pendekatan
tubuh kepada kedua dunia ini dan kepada hamba-hamba Allah yang
paling dekat (kepada-Nya), kesemuanya ini menyebabkan naiknya hati dan ruh kepada Hadirat
Kesucian, mendekatnya ia kepada Yang Sejati (Haqq), pemberian
anugerah dari dunia
cahaya, perolehan kebenaran-kebenaran ma‘rifah dan ruhani, serta dukungan dari dunia malakût dan jabarût.
Shalat ditetapkan sebagai suatu bentuk ibadah yang men-
cakup bentuk-bentuk
kepasrahan dan kerendahdirian. Ketak- nyamanan anggota-anggota
tubuh yang telah
dijauhkan dan dibersihkan seperlunya dari keburukan-keburukan (kenik-
matan) duniawi, ketetapan
hati untuk mendekat kepada-Nya, keikhlasan niat dan ketetapan langkah-langkah untuk mengingat-Nya, yang mengagungkan dan memuji-Nya dengan suatu cara yang sesuai dengan Hadirat-Nya, perendahan diri secara total di hadapan
Kekuasaan-Nya, dan ketaatan kepada Perintah
dan Keadilan-Nya, semuanya
itu merupakan unsur-unsur shalat (yang benar). (DISARIKAN DARI BUKU "BUAT APA SHOLAT")