Segala
pujian dan sanjungan hanya bagi Gusti yang maha Kaya, Maha Agung yang keagunganNya tiada dapat diatandingi oleh seluruh penghuni
bumi hingga akhir zaman. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada kekasih kita dan teladan kita sang manusia suci nan Agung Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
seorang hamba yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta, demikian pula
semoga tercurah kepada seluruh keluarga dan para shahabatnya.
Dengan
risalah singkat ini penulis mengharapkan agar dapat memberi manfaat, secara
khusus bagi pribadi penulis dan umumnya kepada kaum muslimin. Mudah-mudahan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan seluruh amalan kita pemberat timbangan
kebajikan kelak nanti di akherat, Amin ya Rabbal ‘Alamin.
Makna
i’tikaf
Menurut
bahasa i’tikaf punya arti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa
tetap berada padanya, baik hal itu berupa kebajikan ataupun keburukan. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman: Al A’raf ayat 138:
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab: “Sesung-guhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. (QS.7:138)
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab: “Sesung-guhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Ilah)”. (QS.7:138)
Sedangkan
menurut syara’ i’tikaf berarti menetapnya seorang muslim didalam masjid untuk
melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala.
Hukum
i’tikaf
Para ulama
sepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan memohon pahalaNya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih
khusus ketika memasuki sepuluh akhir dari bulan suci itu. Demikian tuntunan
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Yang wajib
beri’tikaf
Sebagaimana
dimaklumi bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk
melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab Radhiallaahu ‘anhu yang
diriwayatkan imam Al Bukhari dan Muslim.
Di sebutkan
bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan
i’tikaf semenjak beliau sampai di Madinah hingga akhir hayat.
Tempat
i’tikaf
I’tikaf
tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berjama’ah kaum
laki-laki, firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya” (Al-Baqarah: 187)
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya” (Al-Baqarah: 187)
Orang yang
beri’tikaf pada hari Jum’at disunnahkan untuk beri’tikaf di masjid yang di
gunakan untuk shalat Jum’at. Tetapi jika ia beritikaf di masjid yang hanya
untuk shalat jama’ah lima waktu saja maka hendaknya ia keluar hanya sekedar
untuk shalat jum’at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat
i’tikafnya semula.
Waktu
i’tikaf
I’tikaf di
sunnahkan kapan saja di sembarang waktu, maka diperbolehkan bagi setiap muslim
untuk memilih waktu kapan ia memulai i’tikaf dan kapan mengakhirinya. Namun
yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari
terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam
sebuah hadits shahih: “Bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu
beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya.
Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari Aisyah Radhiallaahu ‘anhua)
Sunnah-sunnah
bagi orang yang sedang i’tikaf
Di sunnahkan
bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya
untuk berdzikir, membaca Al Qur’an, mengerjakan shalat sunnah (terkecuali pada
waktu-waktu terlarang), serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang
telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang
hakekat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.
Hal-hal yang
harus dihindari mu’takif
Orang yang
sedang i’tikaf dianjurkan untuk menghindari perkara-perkara yang tidak bermanfaat
seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu
konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf bertujuan mendapatkan keutamaan bukan
malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di sunnahkan.
Ada sebagian
orang yang beri’tikaf namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini
tidak dapat di benarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang
meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu orang yang
i’tikaf hendaknya ia menghentikan i’tikafnya jika memiliki tanggungan atau
kewajiban yang harus dikerjakan.
Hal-hal yang
mebolehkan mu’takif keluar dari masjid
Seorang
mu’takif diperbolehkan meninggalkan tempat i’tikafnya jika memang ada hal-hal
yang sangat mendesak. Diantaranya; buang hajat yaitu keluar ke WC untuk buang
air, atau untuk mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang
mengantarkan makanan kepadanya, dan pergi untuk berobat jika sakit. Demikian
pula untuk keperluan syar’i seperti; shalat Jum’at jika tempat ia beri’tikaf
tidak digunakan untuk shalat Jum’at, menjadi saksi atas suatu perkara dan juga
boleh membantu keluarganya yang sakit jika memang mengharuskan untuk dibantu.
Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk kategori dharuri
(harus).
Larangan-larangan
dalam i’tikaf
Orang yang
sedang bei’tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan
sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan
syar’i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut maka
i’tikafnya batal. Selain itu ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram
seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang), membaca
dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram diluar i’tikaf
maka pada saat i’tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya. Mu’takif juga di
larang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan i’tikafnya.
Menentukan
syarat dalam i’tikaf
Seorang
mu’takif diperbolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i’tikaf untuk
melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya saja ia menetapkan syarat agar makan
minum harus dirumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang
dengan tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi
dagangannya maka i’tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan dengan
makna dan pengertian i’tikaf itu sendiri.
Hikmah dan
Manfaat i’tikaf
I’tikaf
memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul n dan
menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah
Ta’ala.
Sedangkan
manfaat i’tikaf diantaranya adalah sebagai berikut:
- Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.
- Mendatangkan ketenangan, keten-traman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.
- Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala . Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayangNya
- Orang yang beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.