Adapun
perihal memakai pakaian ketat yang menutup aurat dan warna kulit, maka hal ini
sesuatu yang makruh. Sebagaimana dinyatakan ar-Rauyani kitab al-Bahr[67].
Demikian pula dinyatakan oleh Syekh Syamsuddin ar-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, ia berkata:
"Perempuan tidak boleh menampakan [bagain badannya], kecuali wajah dan kedua
telapak tangannya. Penutup aurat disyaratkan mencegah warna kulit, sekalipun
sempit [ketat], hanya saja hal itu makruh bagi perempuan, dan perbuatan yang
menyalahi keutamaan bagi kaum laki-laki"[68].
Pernyataan serupa juga ditulis oleh
Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitab Syarah Raudl at-Thalib[69].
Juga oleh Syekh al-Bakri ad-Dimyathi dalam I'anah at-Thalibin[70]
dan ulama besar lainnya dari ulama madzhab as-Syafi'i.
Di antara ulama madzhab Maliki yang
menyatakan makruh memakai pakaian pakaian ketat bagi perempuan adalah; as-Syaikh
Muhammad 'Illaisy dalam Minah al-Jalil
Syarh Mukhtashar al-Khalil[71].
Al-Baji al-Maliki dalam Syarh
al-Muwatha[72]
menyatakan hal serupa.
Di antara ulama madzhab Hanbali yang
menyatakan makruh masalah ini ialah Syekh al-Buhuti al-Hanbali dalam kitabnya Kasyaf al-Qina'[73].
Di antara yang dikutip beliau sebagai dalil dalam masalah ini adalah sebuah
hadits Rasulullah. Bahwa suatu ketika Rasulullah menghadiahkan pakaian [semacam
pakaian al-Qibthiyyah] kepada Usamah
ibn Zaid. Kemudian Usamah memakaikan pakaian tersebut kepada isterinya. Ketika
Rasulullah bertanya: "Kenapa engkau tidak memakai pakaian al-Qibthiyyah?. Usamah menjawab: "Aku
memakaikannya kepada isteriku wahai Rasulullah!. Rasulullah bersabda: "Suruhlah
ia untuk mengenakan pakain dasar [ghilalah], aku khawatir pakaian [al-Qibthiyyah] tersebut membentuk
tubuhnya". Dalam pada ini Rasulullah tidak mengharamkan pakain ketat
tersebut.